Rabu, 10 Maret 2010

Duka Sang Permaisuri

Seni membuat wastra batik dikenal oleh beberapa etnis bangsa. Siapapun boleh membuat wastra batik. Batik Indonesia kaya pola dan motif, jumlahnya ribuan. Jumlah ini akan terus bertambah sejalan dengan kreatifitas cipta para seniman batik yang terus tumbuh di negeri ini.

Pola dan motif batik Indonesia yang merujuk pada sikap pandang manusia pada landskap lingkungan dan kehidupan, diungkap dengan bentuk-bentuk stilasi. Seperti tumbuhan, gunung, hewan, sawah, sungai, laut dan ikon-ikon kehidupan kuno lainnya. Diyakini, tiap pola dan motif itu tercipta lewat olah laku oleh para pembuatnya.

Bentuk pola kuno sangat popular adalah parang rusak, yang kisah penciptaannya masih sering diperdebatkan. Mengutip buku Batik, “pengaruh zaman dan lingkungan” karangan H. Santosa Doellah/ Danar Hadi ada yang menyebut pola parang rusak muncul di masa Raden Panji, pahlawan Kerajaan Kediri dari Jenggala, Jawa Timur pada abad ke-11. Yang lain percaya, desain ini diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram (1613-1645) seusai meditasi di pantai selatan Jawa. Konon ilham datang dari fenomena gelombang-gelombang besar yang memecah karang dan merusaknya. Dalam bahasa Jawa istilah parang dekat dangan kata karang. Parang rusak berarti karang yang pecah atau rusak.

Lain lagi cerita tentang batik truntum. Berawal dari taman Bale kambang di Solo yang dahulunya tempat nyepi Kanjeng Ratu Beruk, permaisuri Sri Susuhunan Paku Buwono III, yang sedih karena tak lagi menerima cinta kasih raja. Dalam keprihatinan, Ratu Beruk membatik. Sepenuh rasa ia menoreh canting dan cairan malam, sampai sang raja singgahdan mengagumi wastra batik itu. Konon gara-gara wastra batik itu, cinta kasih raja memiliki greget lagi. Lalu raja member nama pola dan motif wastra batik itu sebagai truntum, yang berarti “timbul” atau “ berkumpul”.

Dalam sebuah sarasehan di Tokyo, tahun 2005, Iwan Tirta mengungkap bahwa wastra batik dari lingkungan keraton disebut batik keraton; umumnya bertumpu pada pola tradisional. Struktur ragam hias dan pewarnaannya merupakan hasil olah seni, adat sikap hidup dan pandangan masyarakatnya. Umumnya pola batik keratin dipengaruhi filosofi Hindu Jawa dari masa Pajajaran dan Majapahit. Pola semen salah satu contohnya, dimana hiasan utama berupa garuda dan pohon hayat merupakan filosofi Hindu Jawa.

Iwan Tirta juga pernah menyebutkan, pengaruh Islam, tampak pada stilasi bentuk yang menjadi kecenderungan umum pola batik keratin. Stilasi yang menjadikan bentuk makhluk menjadi tidak wadag (bukan wujud aslinya). Hal itu menjadi jalan keluar dari “larangan” menampilkan manusia dan hewan secara nyata dalam karya seni.

0 comments:

Posting Komentar